JAMBI, TUNTAS.CO.ID - Penelitian bersama dilakukan oleh beberapa lembaga yang tergabung dalam Aliansi Jambi Sosial Research and Responsibility (Al-Jasra) terhadap Suku Anak Dalam (SAD) dan Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Jambi.
Pemimpin peneliti, Brigjend H. Albiner Sitompul mengatakan penelitian tersebut dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Batanghari, Bungo, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
Hasil penelitian setidaknya secara khusus ada empat hal penting.
Pertama, pelaksanaan kebijakan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) masih tumpang tindih antara institusi yang satu dengan yang lain, sehingga hasilnya tidak maksimal dan bahkan KAT terkesan semakin terabaikan.
Kedua, hampir di semua Kabupaten SAD/KAT terjadi konflik pertanahan dan kehutanan akibat dirampasnya tanah adat/ulayat mereka oleh perusahaan HTI, HGU, dll.
Ketiga, salah satu tradisi dan kearifan lokal yang tidak mungkin dilepaskan dari SAD adalah tradisi melangun (perjalanan setelah ada musibah kematian). Penelitian ini merekomendasikan terbentuknya destinasi melangun. Destinasi melangun akan dipusatkan di pondok pesantren terpadu di Sungai Bengkal, Kabupaten Tebo.
Keempat, SDM KAT Provinsi Jambi terbilang banyak dan akan memasuki usia produktif. Hal itu terlihat ada 70 orang anak muda SAD yang siap diberdayakan baik di tingkat SMP, SMA maupun usia kuliah. Tahun ini ada lima orang calon mahasiswa baru dari SAD yang akan kuliah di Kampus STAI Ahsanta Jambi. Al-Jasra mengimbau pemerintah menyediakan beasiswa khusus bagi mereka.
"Paling tidak ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan pada penelitian ini. Nanti akan disampaikan masing-masing peneliti per bidang,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Kepala Biro Pers dan Media Rumah Tangga Istana Kepresidenan itu.
Peneliti lainnya, Usman Quraisy mengatakan dalam penelitian ini disorot ada beberapa bidang. Mulai dari pendidikan hingga konflik pada suku anak dalam.
”Untuk bidang pendidikan kita melihat ada beberapa permasalahan yang kini dihadapi oleh warga SAD, yakni banyaknya anak-anak muda mereka yang lulus SMA sederajat tapi tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi,” terang Usman.
Jika jumlah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi ini bertambah banyak, dirinya khawatir akan terjadi tsunami sosial. Untuk itulah lanjutnya, pihak STAI Ahsanta Jambi telah memberikan ruang kepada para pemuda SAD untuk melanjutkan kuliah.
”Tahun ini sudah ada yang mulai mendaftarkan diri,” terang alumni Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Malaysia tersebut.
Sementara itu, di bidang konflik, peneliti lain yakni Mawardi menyampaikan tradisi melangun yang biasa dilaksanakan oleh Suku Anak Dalam kini terancam. Karena kawasan untuk warga SAD melaksanakan tradisi tersebut semakin sempit.
Sebagi contoh yang di alami oleh SAD 113, kurang lebih 33 tahun mereka berkonflik dengan PT. Bangun Desa Utama (BDU) yang berubah menjadi PT.Asiatic Persada, PT.Agro Mandiri Semesta (AMS) dan sekarang menjadi PT. Berkat Sawit Utama (BSU) sejak Tahun 1986.
Banyak pihak berasumsi bahwa konflik tersebut sudah selesai dengan Kompensasi Kemitraan
areal seluas 2000 hektare, yang berada di luar HGU PT Asiatic Persada, kompensasi 2000 hektare
tersebut berada di areal PT. Maju Perkasa Sawit dan PT. Jamer Tulen yang izin lokasinya telah berakhir pada tahun 2005, dan PT. Maju Perkasa Sawit dan PT. Jamer Tulen juga sudah bertahun-tahun berkonflik dengan petani lokal di Desa Bungku.
Berbagai cara sudah ditempuh oleh SAD 113 untuk mengusahakan penyelesaian konflik tersebut. Surat-surat dan berita acara kesepakatan sudah ratusan kali dilakukan. Pada tanggal 29 Maret 2016, Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Instruksi Nomor 1373/020/III/2016, perihal penyelesaian masalah Suku Anak Dalam 113 di Jambi akan tetapi sampai hari konflik mereka juga belum terselesaikan.
Peneliti lain, Wili Azan
mengatakan destinasi melangun tak hanya soal budaya, konflik yang menimpa warga SAD pun kini juga masih banyak. Konflik itu diakibatkan adanya penyerobotan lahan nenek moyang mereka oleh perusahaan -perusahaan HTI, perkebunan dll.
”Makanya kami mengusulkan harus ada lembaga khusus yang menangani ini. Kita mengusulkan Badan Nasional Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, karena tidak bisa seperti sekarang berbeda-beda lembaga,” ujar peneliti lain, Willi Azan, pendiri Komunitas Makekal Bersatu (KMB).
Sedangkan peneli lainnya, M Idris menambahkan untuk membantu menyelesaikan masalah SAD tersebut, pihaknya saat ini sedang menyiapkan lahan untuk pembangunan pondok pesantren terpadu dan destinasi melangun. Rencananya tempat tersebut akan berlokasi di Sungai Bengkal.
”Semoga rencana ini terwujud dan berhasil dengan baik,” harapnya. (*)