Ekonomi Indonesia Dinilai Masih Jauh dari Cita-cita Ekonomi Pancasila -->
Cari Berita

Ekonomi Indonesia Dinilai Masih Jauh dari Cita-cita Ekonomi Pancasila

tuntas.co.id



FGD yang dilakukan DPN ISRI 

TUNTAS.CO.ID, Jakarta - Robby Alexander Sirait, M.E., Ketua II Bidang Ekonomi Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) dalam FGD pada program UKP MENDENGAR yang bertema "Pusat Studi Pancasila & Kajian Ekonomi Pancasila" memaparkan apakah pengelolaan ekonomi Indonesia saat ini sudah dilakukan dengan pendekatan ekonomi Pancasila sebagaima sudah tegas diamanahkan oleh konstitusi?

"Kalau kita mau jujur sebagai sebuah bangsa, pengelolaan ekonomi kita masih jauh dari penerapan ekonomi pancasila. Perekonomian Indonesia masih dikelola dengan menitikberatkan pada “mekanisme pasar” yang selalu menekankan pada efisiensi," kata Robby.

Peran negara atau pemerintah dalam aktivitas ekonomi strategis selalu dibatasi dan diminimalisir dengan dalih efisiensi. Padahal, konstitusi mengamanahkan bahwa perekonomian nasional harus dikelola dengan prinsip keberpihakan (kepentingan negara dan hidup orang banyak) yang mengedepankan pemerataan (keadilan sosial). 

Pengelolaan Ekonomi Indonesia Masih Jauh Dari Pancasila dan Cita-Cita Nasional Pengelolaan ekonomi Indonesia saat ini masih menitikberatkan pada bekerjanya mekanisme pasar, dengan harapan aktivitas ekonomi berjalan dengan efisien sehingga mampu menciptakan kemakmuran bagi setiap pelaku ekonomi. 

Pandangan ini didasari pada asumsi bahwa setiap manusia atau pelaku ekonomi mampu atau dapat memakmurkan dirinya sendiri, sehingga pada akhirnya kemakmuran seluruh masyarakat akan terwujud. 

Pertanyaan sederhananya, apakah pilihan pendekatan pengelolaan ekonomi yang dijalankan saat ini sudah mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan mampu mewujudkan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi?. 

"Jawabannya sudah pasti pengelolaan ekonomi saat ini belum mampu atau bahkan masih jauh dari cita-cita yang diamanahkan oleh konstitusi. Artinya, pengelolaan ekonomi yang dititikberatkan pada bekerjanya mekanisme pasar tidak mampu membawa dan menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia," jelasnya.

Pengelolaan ekonomi saat ini masih jauh dari cita-cita ekonomi Pancasila. Kegagalan-kegagalan tersebut dapat terlihat dari berbagai fakta dibawah ini :

Ekonomi Pancasila menekankan pada terwujudnya kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Faktanya, persentase jumlah masyarakat miskin Indonesia pada tahun 2016  dengan menggunakan basis perhitungan pengeluaran dibawah US $ 3,2 per hari masih sebesar 31,4 persen dan bahkan jika menggunakan basis US $ 5,5, lebih dari setengah masyarakat Indonesia masih miskin atau tepatnya sebesar 62,8 persen. 

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang terus menganga dan tidak ada kecenderungan ke arah yang lebih baik. Dalam lima belas tahun terakhir koefisien gini selalu berkisar diantara 0,35 – 0,40. 

Artinya, kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih sangat lebar. Padahal, konstitusi mengamanahkan pengelolaan ekonomi harus mampu menciptakan keadilan atau pemerataan. 

Rilis Majalah Forbes pada akhir November 2017, terungkap kekayaan 50 orang terkaya Indonesia tahun 2017 mencapai US$ 126 miliar, atau setara Rp 1.6888,4 triliun (asumsi Rp13.400 per US$), atau lebih dari separuh total belanja negara pada APBN tahun 2017 yang tercatat Rp2.080,5 triliun. 

Menariknya lagi, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 diperkirakan hanya 5,2%, sementara angka pertumbuhan aset 50 orang terkaya Indonesia tersebut tumbuh, dari US$ 99 miliar pada 2016 menjadi US$ 126 miliar atau melonjak 27,2%. 

Ini berarti pertumbuhan 5% itu sebagian besar lari ke atas, yang pertanda bahwa iklim kesenjangan sosial pun akan semakin merenggang.

"Perekonomian Indonesia tahun 2016 masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto sebesar hampir 60 persen. Persoalan klasik yang terus terjadi hingga saat ini, ekonomi terkonsentrasi di Pulau Jawa dan tidak ada pemerataan pembangunan ekonomi antar wilayah. Ketidakmerataan ini merupakan bukti yang sahih bahwa pengelolaan ekonomi kita saat ini masih sangat jauh dari cita-cita ekonomi Pancasila ujar," ujar Robby

Robby yang juga analis APBN mengatakan Ketidakmerataan pembangunan antar wilayah yang diukur dengan indeks Williamson juga menunjukkan bahwa lebarnya ketidakmerataan pembangunan ekonomi antar propinsi di Indonesia. Pada tahun 2014 indeks Williamson antar provinsi sebesar 0,73, tidak berbeda jauh dibandingkan dengan capaian di tahun 2005 yang sebesar 0,78. 

Kesenjangan ekonomi antar wilayah tersebut tidak bisa dilepaskan dari kesenjangan human capital antar daerah, khususnya antar barat Indonesia dengan timur Indonesia. Indeks pembangunan manusia (IPM) provinsi-provinsi di timur Indonesia seperti Papua, Papaua Barat, NTT, NTB, Maluku dan Maluku Utara jauh tertinggal dibandingkan provinsi di wilayah barat.

Masih terjadinya kesenjangan faktor input pembentuk atau determinan kualitas human capital, yang salah satunya dapat dilihat dari ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan. Per tahun 2014, penduduk diwilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dalam mengakses puskesmas (sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama) membutuhkan jarak rata-rata ke 366,68 km (puskesmas density). Berbeda jauh dengan penduduk di Pulau Jawa yang hanya 34,12 km. 

Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada perbedaan aksebilitas ke fasilitas pendidikan. Seorang siswa SMP di pulau Jawa & Bali hanya membutuhkan jarak rata-rata ke sekolah 6,13 km dan SMA hanya 15,63 km. Sedangkan, siswa di regional Nusa Tenggara, Maluku dan Papua membutuhkan jarak 183,6 km dan 452,15 km.

Berbagai fakta yang menunjukkan kemiskinan yang masih parah dan kesenjangan atau ketimpangan yang masih lebar baik dari sisi ketimpangan ekonomi individu, ketimpangan ekonomi wilayah, ketimpangan kualitas modal manusia hinga ketimpangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan merupakan sebagian indikator-indikator yang menunjukkan bahwa pengelolaan ekonomi saat ini tidak mampu atau gagal mewujudkan cita-cita nasional dan masih jauh dari nilai-nilai Pancasila. 

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan pada pilihan pengelolaan ekonomi (baik dari sisi aturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah maupun politik anggaran) yang masih menitikberatkan pada bekerjanya mekanisme pasar dan meminimalisir campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi nasional. (**)