Izin Baru PT WKS di Jambi Diminta untuk Direvisi karena KLHK Dinilai Keliru -->
Cari Berita

Izin Baru PT WKS di Jambi Diminta untuk Direvisi karena KLHK Dinilai Keliru

tuntas.co.id

Peta izin PT WKS, hijau izin lama dan merah izin baru.

JAMBI, TUNTAS.CO.ID - Gerakan SAD dan Petani Jambi menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin baru untuk PT Wirakarya Sakti (WKS) di Jambi.

Utut Adianto, Korlap Gerakan SAD dan Petani Jambi dalam rilis kepada tuntas menyebut ada kekeliruan terkait penerbitan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI Nomor SK.57/MENLHK/SETJEN/HPL.0/1/2018, tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Kehutanan No 744/KPTS-II/1996 Tanggal 25 November 1996 Tentang Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri Kepada PT. Wirakarya Sakti/WKS. 

"Kekeliruan tersebut dapat kami jelaskan pertama, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden RI Nomor 6/2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang melengkapi Inpres sebelumnya dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan yang tengah berlangsung guna penurunan gas emisi dari deforestasi dan degradasi hutan," katanya, Selasa (23/6/2020).

Meski Instruksi Presiden ini telah ditindaklanjuti dengan terbitnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 31 Juli 2017 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Pemanfaatan Huitan, namun kata dia penerbitan izin baru untuk PT. WKS yang berada di atas wilayah gambut perlu ditinjau dan dievaluasi kembali.

"Dari hasil telaah di dua wilayah, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur maka perubahan (addendum) IUPHHK-HTI PT. WKS secara faktual cukup luas mencapai + 10.001 Hektar dimana keseluruhannya berada diatas wilayah gambut. Pemberian izin baru ini tentu saja bertentangan dengan semangat moratorium izin di lahan gambut," jelas dia.
  
Secara formil lanjutnya, perubahan (addendum) IUPHHK-HTI PT. WKS dari semula seluas + 293.812 Hektar sebagaimana tertuang dalam SK.346/Menhut-II/2004 menjadi + 290.378 Hektar sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan ijin baru SK.57/Menlhk/Setjen/HPL.0/1/2018 ini mengalami pengurangan, namun berbeda dengan kondisi faktualnya.

"Sebagaimana hasil telaah peta (overlay) dan pengamatan yang dilakukan pada wilayah konsesi PT. WKS khusus pada Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur terdapat area baru seluas 10.001 Hektar. Artinya area tanam baru perusahaan bertambah dengan penguasaan area tanam lama."

Dengan demikian secara faktual lanjut Utut, area tanam perusahaan bertambah lebih luas + 10.001 Hektar atau melebihi dari ijin konsesi yang dimilikinya.

"Secara khusus perlu kami sampaikan bahwa pada wilayah izin baru tersebut sebanyak 90 persen merupakan wilayah tanam PT. WKS yang telah dikelola dan ditanami sejak lama antara dua—tiga daur tanaman akasia atau dimulai sekitar tahun 2006," papar dia.

"Publik baru mengetahui hal ini sebagai kegiatan perkebunan illegal setelah terbitnya SK izin baru tersebut.
Dugaan kegiatan illegal yang dilakukan secara masif oleh perusahaan ini telah menimbulkan potensi kerugian negara dalam kegiatan loging, PNBP, dan perizinan yang mencapai trilyunan rupiah ini tentunya tidak dapat ditutupi dan didiamkan oleh negara karenanya perlu dilakukan evaluasi izin dan permintaan pertanggung jawaban hukumnya," sambungnya. 

Karena kata dia, kegiatan pembukaan kawasan hutan tanpa izin atau perambahan ini merupakan perbuatan pidana perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). 

Perbuatan ini menimbulkan dugaan kerugian negara yang ditaksir dari penerimaan Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Dana Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP, yang kerugiannya dapat dihitung secara pasti.     
Bahwa di atas wilayah penerbitan izin baru (SK.57/Menlhk/Setjen/HPL.0/1/2018) ini tumpang-tindih dengan potensi dan pencadangan area Perhutanan Sosial sebagaimana tertuang dalam SK.22/Menlhk/Setjen/PLA.0/1/2017 tentang Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan SK. 4865/Menlhk—PKTL/RN/PLA.0/9/2017 PIAPS REVISI I.

Diantara area yang dimaksud dalam Peta PIAPS tersebut yakni di Desa Lubuk Mandarsah, Desa Rantau Karya, Desa Manis Mato, Desa Sekumbung, Desa Danau Lamo yang mencapai + 4000 Hektar dan potensi PIAPS di Hutan Produksi yang sangat diperlukan oleh masyarkat desa di dalam/sekitar hutan yang kondisinya termasuk desa tertinggal.

"Pemberiain izin baru pada area PIAPS tentu memupuskan harapan masyarkat miskin di sekitar kawasan hutan untuk mendapatkan keadialan atas akses tanah dan penyelesaian konflik tenurial antara masyarakat dengan perusahaan dan masyarakat dengan pengelolaa hutan."

Sebagaimana diketahui bahwa 93% penguasaan Hutan Produksi di Provinsi Jambi dikuasai oleh segelintir perusahaan, dimana perusahaan Sinarmas Group (PT. Wirakarya Sakti dan PT. Rimba Hutani Mas) mencapai 341.638 Hektar atau setara 45% Hutan Produksi Jambi.    

"Monopoli penguasaan hutan ini tentu saja bertentangan dengan semangat Perhutanan Sosial sesuai PermenLHK Nomor P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/ 2016, yang mengharapkan adanya “moratorium izin” konsesi dengan terlebih dahulu memberi kesempatan kepada masyarakat demi terwujudnya keseimbangan dan keadilan agraria," pungkasnya. (*)