Mengenang Gus Dur Sebagai Bapak Bangsa, Dulunya Penulis -->
Cari Berita

Mengenang Gus Dur Sebagai Bapak Bangsa, Dulunya Penulis

tuntas.co.id


TUNTAS.CO.ID – 10 tahun lalu bangsa Indonesia kehilangan tokoh besar, Abdurrahman Wahid. Gus Dur, begitu mantan Presiden RI ke-4 ini biasa disapa, wafat di Jakarta, 30 Desember 2009 di Jakarta setelah menderita penyakit arteri koroner.

Mengenang Gus Dur terasa belum lengkap tanpa mengetahui kebiasaan dan passion beliau ketika muda. Termasuk minat dan kebiasaan beliau yang mungkin terlewatkan dalam berbagai tulisan.

Gus Dur adalah mantan Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia pendiri Partai Kebangkita Bangsa (PKB) yang kini dipimpin oleh Muhaimin Iskandar, mantan Ketua Umum PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Gus Dur sangat dikenal sebagai tokoh penganjur demokrasi dan pluralisme. Tokoh yang pernah kuliah di Irak ini mendedikasikan dirinya pada kemanusiaan.

Sebelum masuk ke jalan politik, Gus Dur menapak jalan kiprahnya sebagai intelektual dan penulis. Sejak pertengahan 1970-an, Cucu pendiri NU, Kyai Hasyim Asy’ari sudah sangat rajin menulis di media massa dan menjadi pembicara di seminar-seminar.

Majalah Tempo adalah ‘ladang ide’ dan curahan pikiran Gus Dur. Saat itu majalah Tempo berkantor di Proyek Senen, Jakarta Pusat. Bersebelahan dengan dengan majalah Zaman, dimana istri Gus Dur, Sinta Nuriyah, bekerja.

Gus Dur, yang nyaris selalu berpakaian santai; kemeja lengan pendek dan sandal, adalah penulis yang kelewat rajin. Satu tulisannya belum terbit, ia sudah ‘setor’ tulisan lagi ke redaksi Tempo. Bahkan karena begitu seringnya ia nongkrong di kantor redaksi majalah Tempo, sampai disediakan meja sendiri untuk Gus Dur di kantor ini.

Setelah menulis, Gus Dur menyerahkan naskahnya kepada pemimpin redaksi majalah Tempo, Goenawan Mohamad. Dalam hitungan Tempo, sejak akhir 1970-an hingga ia jadi presiden, Gus Dur telah menulis lebih dari 100 naskah di majalah yang kental dengan ciri khas liputan investigatifnya ini.

Tulisan Gus Dur luwes, mengalir, prosais, dan spektrum temanya yang luas. Tidak melulu tema keagamaan, profil para kiai dan pesantren. Gus Dur seringkali juga menulis dengan tema sosial-eknomi, politik, hingga musik dan olah raga.

Tulisan Gus Dur yang luas, tentu berasal dari pengetahuannya yang luas. Apalagi Gus Dur dikenal sebagai kutu buku. Terlebih lagi ia penguasaan bahasanya yangbegitu baik. Tidak hanya bahasa Arab, tapi juga Inggris, Perancis, dan Belanda. (mm/tirto.id)