Strategi Reforma Agraria Jokowi - JK: Mulai dari Pinggiran -->
Cari Berita

Strategi Reforma Agraria Jokowi - JK: Mulai dari Pinggiran

tuntas.co.id


TUNTAS.CO.ID, Jakarta - Jumat 11 Januari 2019  Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Besar Marhaenis mengadakan Diskusi Media dengan tema "Pelaksanaan Reforma Agraria Dalam Era Jokowi-JK." Acara ini merupakan bagian I dari rangkaian diskusi media bulan yang akan diselenggarakan oleh KBM sepanjang 2019.

Revrisond Baswir dalam pengantar diskusi menyitir apa yang disampaikan Bung Karno mengenai kaitan antara revolusi Indonesia dengan reforma agraria. Menurut Revrisond, Bung Karno dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan landreform adalah bagian yang tidak terpisahkan dari revolusi Indonesia. Sebagaimana dikatakannya, “Revolusi Indonesia tanpa landreform sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong-besar tanpa isi,” (Bung Karno, 1960).

Revrisond menambahkan bahwa sikap tegas mengenai arti penting pelaksanaan reforma agraria itu antara lain diwujudkan oleh Bung Karno melalui pelaksanaan landreform tahap pertama pada 1963. Sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Agraria, pada bulan Desember 1964 dan Januari 1965, pemerintah telah berhasil melakukan proses “redistribusi tanah-tanah lebih” di Jawa, Madura, Lombok, Bali dan Sumbawa seluas 454.966 hektar. Tanah-tanah tersebut dibagikan kepada 568.862 orang petani penggarap.

Namun pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto pada 1966/1967, pelaksanaan reforma agraria cenderung berhenti sama sekali. UU tentang Pokok-pokok Agraria No. 5/1960 yang menjadi landasan hukum pelaksanaan hal tersebut cenderung terpinggirkan. Sebaliknya, menyusul terbitnya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), perhatian pemerintahan Soeharto lebih banyak tertuju pada melayani kepentingan asing.

Dibutuhkan waktu sekitar 50 tahun bagi reforma agraria untuk dapat dimulai kembali. Sebagaimana diketahui, pelaksanaan reforma agraria baru dimulai kembali setelah pemerintahan Jokowi-JK naik ke tampuk pemerintahan pada akhir 2014. Komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap pelaksanaan reforma agraria itu antara lain tertuang dalam Perpres No 45/2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 sebagai tindak lanjut dari Perpres No. 45/2016, maka pada tahun 2017 dan 2018 terbit Perpres No. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria. Pada tingkat implementasi, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, realisasi program perhutanan sosial pada tahun 2017 adalah seluas 1.917.890,07 hektar, sedangkan realisasi program reforma agraria adalah seluas 5 juta hektar lahan tersertifikasi. 

Nara sumber yang hadir dalam Diskusi Media I KBM ini adalah Ir. Suwidi Tono, Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia), Ahmad Rifai (Ketua Umum Serikat Tani Nasional), Susilo Eko Prayitno (Bendum Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia/Pegiat Koperasi Pertanian) yang moderatori Cahyo Gani Saputro (Sekjen Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia). 

Ir. Suwidi Tono dalam paparannya menyampaikan bahwa Pemilikan Lahan rata-rata petani (Setelah Reforma Agraria 1970 – 2013) misal di Jepang 4,5 menjadi 16,5 Ha, Korsel 0,8 menjadi 1,0 Ha, Brasil 59,4 menjadi 72,8 Ha, Denmark 11,6 menjadi 22 Ha, Thailand 3,2 Ha, Amerika Serikat 200 Ha (total 5,2 juta petani atau 2 persen populasi) dan di Indonesia 0,9 Ha menjadi 0, 7 Ha  (total 38 juta petani), 55 persen petani rata-rata kepemilikan hanya 0,3 Ha. 

Perkembangan Capaian Perhutanan Sosial Per 12 November 2018, adapun realisasinya yaitu 2.173.063.46 Ha, kurang lebih 497.925 KK dan 5.097 Unit SK. 

Suwidi Tono menambahkan dalam. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum seluas 2 Ha, 
Luas kepemilikan tanah maksimum untuk daerah tidak padat penduduk : 15 Ha (sawah) dan 20 Ha (lahan kering)
Luas kepemilikan maksimum untuk daerah padat penduduk 5 Ha (sawah) dan 6 Ha (lahan kering). Dalam kondisi saat ini
Ketimpangan desa – kota : 13,20 berbanding 7,02 persen (BPS 2018), Subsidi pupuk 65 persen petani miskin (<0,5 Ha) dapat 3 persen 1 persen petani kaya (>2 Ha) dapat 70 persen Saprodi dikuasai pemodal besar (pupuk, pestisida, benih, alsintan dll), Fenomena saat ini merata yang mana menjadi buruh/tukang di atas lahannya sendiri. 

Suwidi Tono dalam kesimpulannya menyampaikan pada saat ini adalah pentingnya rule model dan gerakan rakyat dalam melakukan duplikasi rule model yang telah ada dan berhasil. 

Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia dalam paparannya nya menjelaskan bahwa perjuangan reforma agraria menemukan jalannya kembali di tahun 2018 dengan Deklarasi Hak Asasi Petani yang disahkan oleh Sidang Umum PBB (New York, Amerika Serikat) pada 19 November 2018 dan di undangkannya Peraturan Presiden No. 86 tentang Reforma Agraria pada 24 September 2018. 

Henry mengatakan bahwa Deklarasi Hak Asasi Petani merupakan salah satu poin dalam salah satu tujuan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 atau Gerakan Non Blok, untuk meninjau hubungan sosial ekonomi dan membangun gerakan politik untuk melawan kapitalisme, yang mana poin tersebut menjadi inspirasi organisasi Tani dalam Konferensi Nasional Hak Asasi Petani di Cibubur 2001 yang kemudian dibawa La Via Campesina (Organisasi Petani Dunia) ke tingkat internasional. Spirit Bandung juga terasa ketika saya pada tahun 2003 bertemu Chaves dan bicara soal Bandung, dan menyampaikan alternatif ekonomi dunia yaitu sistem ekonomi Bandung ujar Ketua Umum Serikat Petani Indonesia ini. 

Henry juga mengatakan memang di negara lain waktu Merdeka langsung mengerjakan reforma agraria, namun memang dalam pelaksanaan reforma agraria tidak mudah misal Evo Morales yang berkuasa penuh saja masih bisa "dibendung" dalam pelaksanaan reforma agraria, begitu juga Bung Karno beberapa tahun setelah diundangkannya UU Pokok Agraria mendapat tantangan yang besar. 

Akhirkata Henry berkelakar bahwa Ia sependapat dengan Jokowi bila sebagian lahan sawit di ganti dengan tanaman pisang, pete, jengkol. 

Ahmad Rifai, Ketua Umum Serikat Tani Nasional dalam paparannya mengatakan bagi - bagi sertifikat saat ini sebenarnya merupakan bagian akhir dari reforma agraria, memang tidak mudah melaksanakan reforma agraria secara menyeluruh atau bahkan hanya menyalahkan Jokowi, karena reforma agraria hanya dapat di jalankan dalam pemerintahan progresif revolusioner dan catatan sejarah sejak UU Pokok Agraria tantangan dalam menjalani reforma agraria tidaklah semudah sebagaimana bunyi-bunyian atau teori yang normatif, saya melihatnya pemerintah saat ini menjalankan reforma agraria dengan pendekatan yang soft, moderat dan mulai dari pinggir untuk menghadapi penguasaan sumber daya agraria oleh segelintir orang. 

Ahmad Rifai juga mengingatkan walau sertifikasi adalah political will dalam pelaksanaan reforma agraria namun perlu diperhatikan bahwa sertifikasi dapat berdampak pada liberalisasi maksudnya hanya memperjelas posisi tanah dan mengurangi konflik dengan keluarga dan tetangga namun apabila suatu saat tidak produktif akan jatuh pada pemilik modal. 

Ahmad Rifai mengatakan dalam pelaksanaan reforma agraria pentingnya kekuatan rakyat, tentara dan aparatur dalam mengawalnya secara ideal seharusnya reforma agraria dibawah koordinasi kemenko/kementerian tersendiri, namun kami memahami Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 yang menempatkan menkoperekonomian selaku koordinator diikuti Kementerian lain dibawahnya dan Pelaksana TOR oleh BPN/Kementerian Air dan Perhutanan Sosial oleh KLHK, akhirnya Ia mengatakan bahwa reforma agraria dalam gerakan atas perlu dukungan pemerintah dan dibawah pentingnya persatuan Rakyat. Selain itu masih banyaknya tafsir mengenai reforma agraria menjadikan banyak gerakan - gerakan parsial namun yang terpenting adalah bagaimana alat produksi dan tenaga produktif bisa diwujudkan yakni petani mendapatkan lahan, modal dan teknologi ujar Ketua Umum STN ini. 

Susilo Eko Prayitno, Bendum Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia dalam paparannya menyampaikan bahwa persoalan agraria yang ada saat ini merupakan buah dari _kelalaian kolektif_ yang terjadi pada masa silam. Terutama dengan tidak dilaksanakannya UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria dan perintah Negara ini hanya tersimpan rapi tanpa kajian dan implementasi sejak tahun 1967.

Stagnasi atas pelaksanaan UUPA/1960 seringkali dipertentangkan dengan kepentingan yang dikandung dalam UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Oleh karenanya, Penyelenggara Negara saat ini dapat disebut mempunyai *hutang kepada rakyat* yang harus ditebus, yaitu Reforma Agraria.
Semua pihak tanpa kecuali harus bekerja keras dan lebih kooperatif untuk mewujudkan amanat Negara ini menjadi pembentukan aset nasional yang dikelola oleh rakyat hingga mencipta nilai tambah, meningkatkan keberdayaan dan turut membangun perekonomian. Banyak hal yang harus diselesaikan dan banyak pihak harus turut mengambil peran dan tanggung jawab, agar rekonstruksi sosial melalui reforma agraria berjalan lebih baik dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keterbatasan yang dimiliki oleh para penerima hak kelola atas tanah, misalnya dalam program perhutanan sosial, sebagai bagian dari Reforma Agraria, tentu membutuhkan pendampingan intensif dan harus dilakukan interaksi lebih dalam agar sumberdaya yang dikelola dapat termanfaatkan. 

Pada dasarnya Reforma Agraria itu bukan semata-mata membagikan tanah-lebih yang dikuasai Negara kepada rakyat atau pembuatan sertifikat tanah belaka, melainkan keseluruhan kegiatan untuk membentuk aset produktif yang dapat dijadikan sumber penghidupan, menghasilkan nilai tambah ekonomi dan sosial, serta menjadi bagian dari proses pembentukan karakter bangsa dalam kehidupan bernegara.

Karena sebagian besar lahan yang dipercayakan untuk dikelola adalah tanah lebih atau belum produktif, maka inisiasi berkelompok dapat diarahkan pada bentuk bangun usaha _koperasi_, berupa koperasi pertanian, koperasi perkebunan, koperasi perhutanan, ataupun koperasi industri.
Bangun usaha koperasi-koperasi yang terutama dikembangkan di perdesaan dapat menjadi jalan baru untuk semakin berdaya secara ekonomi dan rakyat di perdesaan bisa mempunyai penghidupan yang layak. Oleh karenanya, langkah yg sudah dilakukan hingga saat ini walaupun parsial, Pemerintah sudah menunjukkan _political will_ yg lebih maju dalam pelaksanaan reforma agraria", ujar Pegiat Koperasi Pertanian ini. (**)