Kuasai 179 Ribu Hektare, PAD dari PT WKS 0 Rupiah untuk Tanjabbar -->
Cari Berita

Kuasai 179 Ribu Hektare, PAD dari PT WKS 0 Rupiah untuk Tanjabbar

tuntas.co.id

Ilustrasi pengangkutan gelondongan kayu akasia/net
TUNTAS.CO.ID - Tahukah kamu anak usaha Sinarmas Group di Tanjab Barat yakni PT WKS menguasai 179 ribu hektare lahan, yang sebagian besar ditanam pohon akasia.
Luas lahan selebar itu, sama dengan luas seperempat wilayah Tanjab Barat, artinya 300 ribu masyarakat Tanjab Barat hanya menempati 2 per 3 wilayahnya.
Sebenarnya hal itu tidak menjadi persoalan jika luas lahan yang dikelola oleh perusahaan  sebanding dengan hasil yang didapat.
Faktanya, Tanjab Barat hanya mendapatkan dana bagi hasil dari pusat atas pengelolaan lahan oleh WKS cuma Rp 5 miliar per tahun.
Hal ini yang dianggap tidak sebanding sama sekali dengan luas lahan yang dikuasai.
Padahal dari beberapa sumber diketahui produksi PT WKS 75 ton sampai 100 ton per hektare.
Di luar dana bagi hasil tersebut, Kepala Badan Pengelolaan Pajak Dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kabupaten Tanjab Barat , Yon Heri mengungkap tidak ada kontribusi lain untuk daerah atau PAD.
"Kalau penghasilan langsung dari WKS nol rupiah," katanya dikutip dari beberapa media.
Inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah daerah, tentu solusinya bukan dengan ukur ulang yang butuh biaya besar, atau hanya 'cuap-cuap'.
Pemerintah daerah harus bisa mendesak pemerintah pusat untuk meningkatkan jumlah royalti dari PT WKS pada setiap produksinya.
Dikutip dari beberapa sumber, saat ini daerah hanya mendapatkan dana bagi hasil 740 rupiah per ton, artinya per hektare dengan produksi kayu sebanyak 75 ton, yang didapat daerah hanya kurang lebih Rp 55 ribu.
Tentu dengan mendesak pemerintah pusat meningkatkan royalti maka bisa meningkatkan APBD Tanjab Barat, sebagaimana Pemda pernah berhasil meningkatkan DBH dari PetroChina beberapa tahun silam.
Atau pemerintah daerah juga bisa menempuh alternatif lain, yakni konsen mendesak pemerintah pusat tidak melanjutkan kontrak setelah izin konsensi WKS berakhir.
Karena saat ini di bawah pemerintahan Jokowi, pemerintah pusat memiliki program perhutanan sosial, di mana hutan bisa dikelola oleh warga lewat poktan, desa atau koperasi.
Dan untuk lahan yang dikuasai perusahaan ke depan bisa dikelola oleh masyarakat jika izin konsensinya sudah berakhir.
Bandingkan jika lahan seluas itu ditanam kebun karet dan dikelola oleh koperasi atau kelompok tani.
Satu hektare lahan karet unggul menghasilkan 40 kilogram getah per hari, dikali dengan harga saat ini Rp 8 ribu per kilogram, hasilnya Rp 320 ribu per hari.
Hal ini malah memiliki multi efek, karena pajak pertambahan nilai penjualan getah karet 10 persen akan masuk kas negara.
Kemudian petani yang notabene masyarakat Tanjab Barat akan mendapat untung bahkan bisa menabung, walau jika per KK hanya dapat dua hektare.
Kemudian perputaran uang di tingkat petani akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi di pasar, dan daerah tentu bisa mendulang untung lewat pajak dan retribusi dari pertumbuhan ekonomi tersebut. (*)